Minggu, 29 November 2009

The Hourglass



Dalam forum santai seorang teman pernah berkata “Time is waktu”. Dasar bodoh!!! siapa yang tidak tahu kalau time adalah waktu. “Why kenapa, because karena” dan memang begitu seterusnya.

Tapi di lain ruang teman yang lain berkata “Time is Watch”.

“What do you mean by watch? “

“Halah… jam .. jam!!!”

Buat orang lain mungkin ini sebuah hal lumrah untuk ditertawakan bahwa time is waktu, time is watch. Tapi menurut saya tidak sedemikian mudah dan simple. Menurut saya time bukan saja watch. Tapi juga“Time is the hourglass. “

Secara fisik watch dan hourlass memang serupa fungsi sebagai alat pegukur waktu. Mari kita teliti lagi. Watch berjalan dari kiri kekanan memutari sumbunya di tengah. Memutar secara teratur detik per detik lantas kumpulannya kita namakan menit dan seterusnya menjadi hitungan jam. Filosofi yang bisa kita ambil dari sini adalah kenyataan bahwa jarum jam tak pernah berjalan mundur dan hanya akan berhenti jika daya (baterai) nya habis.

Dan begitulah hidup kita. Hidup kita tak pernah bisa kita hentikan lajunya. Tak bisa kita minta cepat lambatnya karena seperti detak jarum jam, hidup kita sudah punya cara sendiri untuk menyeimbangkan ritmenya. Dan bagaimanapun hidup tak boleh kita hentikan, tak boeh dimampatkan kualitasnya dan tak boleh dikurangi kuantitasnya. Karena sejatinya hidup akan berhenti dengan sendirinya ketika daya (nyawa yang diberikan Tuhan) habis. Habis pula riwayat kita. Tak lagi kita punya waktu. Dan tak lagi kita punya watch.

Sedangkan an hourglass alias jam pasir adalah metafora dari pemikiran manusia tentang hidup secara universal. Secara fisik, sebuah jam pasir berjalan satu arah dari atas menuju kebawah. Pasir pasirnya berjatuhan tak tentu kecepatannya. Kita tak bisa menentukan detik, menit atau perhitungan detail semacamnya. Kita hanya tahu panjangnya sebuah waktu setelah seluruh pasir turun dan bagian atas telah kosong. Dan sayangnya jam pasir masanya akan habis hanya satu kali putar. Tidak seperti pada watch, jam pasir tidak bisa kita balik dan diulang perhitungannya.

Dan serupa itu pula hidup kita. Hidup ternyata cuma sekali lalu. Waktu (pasir) yang sudah berjatuhan tak bisa kita kembalikan lagi, tidak bisa kita balik lagi sistemnya. Dan hidup kita seperti itu. Kita tak pernah tahu kapan pasir itu akan habis sisi atasnya. Karena ketika itu terjadi saat itu juga baru kita tahu bahwa nyawa kita tak lagi menjadi hak milik kita.

Pada jam pasir, saat pasir yang tersisa untuk jatuh hanya tinggal sedikit maka jatuhnya pasir itu akan terlihat lebih cepat. Dan setiap kita hampir menemui akhir, saat itu juga kita merasakan waktu sedang memburu kita seolah masih banyak hal yang belum kita kerjakan tapi waktu tak lagi mencukupi.

Pada jam pasir pula, sisi berisi dan sisi kosong adalah simbol hidup dan mati. Sisi berisi adalah hidup dan pasir adalah waktu yang sedikit demi sedikit akan luruh seiring luruhnya jiwa kita ke peradaban kematian. Dan sisi kosong adalah kematian dimana kita belum tahu apa apa tentangnya. Tentang apa isinya, apa warnanya, bagaimana rasanya dan bagaimana bila kita disana.

Secara keseluruhan, the hourglass adalah kaca yang bisa kita lihat isi dalamnya, bisa kita pantau pergerakannya. Dan sejatinya karunia itu yang diberikan kepada kita (kalau masih merasa manusia). Kita diberi kejelasan tentang hidup, mati, berserta segala sistem dan perangkatnya. Kita diberi jalan dan petunjuk kearah mana kita harus pergi. Dan kenikmatan terbesar manusia adalah diberinya kita kebebasan untuk memilih jalan hidup. Bukan berarti jika kita menjadi seorang pemabuk Karena Tuhan menginginkan seperti itu tapi lantaran karena Tuhan membiarkan kita memilih antara menjadi ahli mabuk atau ahli ibadah. Dan saya yakin, Tuhan lebih adil dari yang mampu kita pikirkan.

Dan walaupun menurut sebagian orang waktu hanya eksis di dunia manusia (tidak di dunia Tuhan atau yang lainnya) karena waktu hanyalah alat bantu manusia untuk membedakan masa. Tapi sangat harus kita perhatikan juga pekara satu ini. Kita terlalu banyak menyia-nyiakan waktu. Membuangnya begitu saja seperti kita tak pernah butuh. Kita terlalu banyak tidur, makan, ngopi, cangkrukan, gossip, melamun, nonton film, infotaiment, sinetron, fesbuk, ye em, shopping, pacaran, tertawa terbahak bahak, dan berjanc**k – janc**k ria bahkan ngupil pun sepertinya kita beri waktu khusus “Ngupil time”

Tapi kita sering lupa sholat, lupa istighfar, malas bekerja, malas berkarya, dan malas menghasilkan. Kita lupa daratan, terlalu cinta dunia, dan terlalu takut mati. Dan ya itulah kita.. sering melupakan waktu, menganggap eksistensi waktu terlalu marginal. Lantas kita menelantarkannya dan nanti baru tergopoh gopoh saat tak lagi ada waktu tersita.

Itulah saya, mungkin anda, dan kita manusia ( sekali lagi jika masih merasa manusia). Wallahu a’lam.


01.01 am 30th Nov 09
Tulisan ini untuk mengingatkan diri saya sendiri..
kalau anda ikut merasa diingatkan ya Alhamdulillah.